BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.LatarBelakang
Bali adalah sebuah pulau di Indonesia yang terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok dengan Ibukota provinsinya ialah Denpasar. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai
tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil
seni-budaya, berupa tarian.
Seni
tari Bali pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi tiga kelompok: yaitu wali atau seni tari pertunjukan sakral, bebali atau seni tari pertunjukan untuk
upacara dan juga untuk pengunjung, dan balih-balihan
atau seni tari untuk hiburan pengunjung.
Pakar seni tari Bali I
Made Bandem
pada awal tahun 1980-an pernah menggolongkan tari-tarian Bali tersebut antara
lain yang tergolong ke dalam wali
misalnya Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede, bebali antara lain ialah Gambuh, Topeng Pajegan, dan Wayang
Wong, sedangkan balih-balihan
antara lain ialah Legong, Parwa, Arja, Prembon dan Joged, serta berbagai koreografi tari
modern lainnya.
Kesenian tari bagi masyarakat Bali memang tak bisa
dipisahkan. Tarian Bali, seperti Legong,
Janger, Baris, Kecak, adalah
tarian yang disakralkan dan mengalami masa jaya pada tahun 1930. Adapun
pertunjukan Tari Tradisional Bali terutama
di daerah Ubud diadakan berbagai macam tarian Bali dari berbagai sanggar tari,
biasanya tarian yang populer dikalangan para wisatawan antara lain yaitu tari Legong,
tari Kecak, tari Barong dan lain-lain. Tari Legong yang
menjadi salah satu tarian favorit yang ditonton oleh para wisatawan baik
wisatawan Nusantara maupun wisatawan Mancanegara merupakan tarian yang
dikembangkan di keraton atau istana-istana di Bali. Tari Legong biasanya
ditarikan oleh dua orang gadis dan tari Legong sendiri mempunyai banyak ragam
atau macamnya. Semuanya akan dibahas pada bagian pembahasan Makalah ini.
B. Pembatasan Makalah
Bali
menghasilkan banyak kebudayaan khususnya tarian, untuk lebih memfokuskan
pembahasan dalam Makalah ini saya mengambil bahasan mengenai Keberadaan tari Legong dimulai dari asal-usul sampai
perubahan makna tari Legong. Tidak
terlewatkan juga ragam atau macam tari Legong,
motif gerak dan gamelan serta jenis musik yang dipakai.
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi tugas
mata kuliah Estetika Tari
2. Mengkaji mengenai tari Legong dari Bali dengan lebih mendalam
3. Menambah wawasan dan
pengetahuan
4. Mampu mempelajari
tentang kepenarian tari Legong secara
umum
Selain
tujuan di atas, tujuan lain disusun makalah ini adalah untuk menarik para
pembaca umumnya dan para seniman khususnya agar lebih mengenal tari Legong. Karena banyaknya ragam tari Legong dan mereka mampu mengembangkannya
secara luas yang kemudian menjadi lebih sadar akan potensi yang dimilikinya
dalam menyongsong era industrialisasi dewasa ini.
D. Manfaat
Menambah wawasan dan pengetahuan
mengenai pertumbuhan tari Legong.
Selain itu, mampu mendapatkan penjelasan mengenai tari Legong, baik maknanya dan macamnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal Mula Tari Legong
Tidak pernah ada yang menjumpai
kata “legong” dalam catatan-catatan
kuno. Diduga kata
legong berasal dari kata “leg” yang
artinya gerak tari yang luwes atau lentur yang merupakan ciri pokok tari Legong. Adapun “gong” yang berarti instrument pengiringnya artinya gamelan. Legong dengan
demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh
gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong
dinamakan Gamelan Semar Pagulingan.
Salah satu bentuk tarian asli yang sangat tua umurnya adalah
tari Sang Hyang yang merupakan media keagamaan yang sangat penting dan
dipertunjukan dalam upacara keagamaan. Perbendaharaan geraknya berupa
gerak-gerak peniruan alam yang dibuat amat abstrak dan distilisasikan, yang
kemudian dipakai dalam tari Legong.
Dalam perkembangannya gerak-gerak tersebut diperindah dan disempurnakan
wujudnya.
Legong yang kita ketahui sekarang
merupakan percampuran dari elemen-elemen tari yang berbeda sekali jenisnya.
Elemen tersebut berasal dari kebudayaan Hindu Jawa yang dituangkan dalam bentuk
tari klasik yang disebut Gambuh. Gambuh merupakan tipe drama tari yang
berasal dari pra-Islam Jawa dan mungkin sudah dikenal di Bali sejak permulaan
abad ke-15.
Untuk Legong,
cerita yang paling umum dipakai sebagai lakon ialah cerita Lasem yang bersumber dari cerita Panji. Elemen cerita bukan suatu
hal yang paling menarik dalam tari Legong
karena cara pendramaannya sangat sederhana dan abstrak. Kenyataannya orang
tidak dapat mengerti tari Legong
tanpa mendengarkan dialog dari juru
tandak, penyanyi pria yang duduk di tengah-tengah gamelan.
Menurut Babad Dalem
Sukawati, sebuah riwayat tua desa
Sukawati, Gianyar, tari Legong
diciptakan berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made Karna, raja Sukawati yang
bertakhta pada 1775-1825 M. I Dewa Agung Made Karna sedang melakukan tapa di
pura Jogan Agung Ketewel dekat desa Sukawati. Dalam semadinya beliau bermimpi
melihat bidadari sedang menari di Surga. Mereka menari dengan busana indah dan
memakai hiasan kepala dari emas.
Ketika sadar dari mimpinya, I Dewa Agung Made Karna
memerintahkan kepeda Bendesa Ketewel (kepala desa) untuk membuat beberapa
topeng dan menciptakan suatu tarian yang mirip dengan impiannya. Tidak lama
setelah itu, Bendesa Ketewel berhasil membuat sembilan buah topengnya diragakan
oleh dua orang penari Sang Hyang dan yang kini sudah memakai
koreografi yang pasti diduga telah diciptakan waktu itu.
Beberapa lama setelah terciptanya Sang Hyang Legong, sebuah kelompok kesenian yang
dipimpin I Gusti Jelantik dan Blahbatuh mempertunjukan tari Nandir yang gayanya hampir sama dengan
tari Sang Hyang Legong, kecuali
penari dua anak laki-laki yang tidak memakai topeng. I Dewa Agung Manggis
segera memerintahkan dua orang seniman dari Sukawati untuk menata tari Nadir agar dapat diperagakan oleh
anak-anak perempuan. Sejaka saat itulah tari Legong Klasik diciptakan
sampai sekarang.
Pada mulanya tari Legong
merupakan kesenian feudal dari kaum triwangsa di Bali. Legong dalam inspirasi
dan kreasinya sama dengan Gmabuh, yaitu suatu kesenian dari istana. Kesenian ini
berkembang sesuai dengan pola kebangsawanan dan mendapat dorongan dari para
raja zaman dahulu. Para petugas kerajaan memeriksa ke desa-desa untuk
mendapatkan anak-anak perempuan yang berbakat untuk dilatih dan dijadikan
penari Legong. Proses terjadinya tari
Legong sudah merupakan konsep dalam
seni pertunjukan yang mampu berkreasi terutama seniman-seniman, mengambil
elemen dari kerakyatan yang dikembangkannya menjadi kesenian yang tinggi
mutunya.
Sampai sejauh ini, belum dapat dipastikan kapan sesungguhnya
tari Legong diciptakan. I Gusti Gede
Raka, seorang guru Legong dari desa
Saba, mengatakan bahwa Legong telah
dikenal di desanya sejak 1811 M. Ungkapan ini sesuai dengan Babad Dalem Sukawati.
Lakon yang biasa dipakai dalam Legong
kebayakan bersumber pada:
1.
cerita Malat khususnya kisah Prabu Lasem,
2.
cerita Kuntir dan Jobog (kisah Subali Sugriwa),
3.
Legod Bawa (kisah Brahma Wisnu tatkala mencari ujung
dan pangkal Lingganya Siwa),
4.
Kuntul (kisah burung),
5.
Sudarsana (semacam Calonarang),
6.
Palayon,
7.
Chandrakanta dan lain sebagainya.
B. Tujuan Pertunjukan
Tari Legong
Di samping itu, nilai sakral pertunjukan Legong
tersimpan di dalam gerak tarinya sendiri. Sebelum tarian dimulai, kedua
penari Legong duduk pada kursi di muka gamelan, berayun ke kiri dan
ke kanan, sebagai peniruan tari kerawuhan.
Tari Legong masih erat
hubungannya dengan agama, baik dari segi sejarah maupun pertunjukannya. Dalam
hal ini, sama dengan tari Sang Hyang. Nilai keagamaan dan kepercayaan
yang diasosiasikan dengan tari Legong ialah kebudayaan keraton Hindu
Jawa. Kebudayaan tersebut amat berbeda sifatnya kalau dibandingkan dengan
kebudayaan pra-Hindu di Bali yang ekspresinya terungkap dalam tari Sang
Hyang. Pada saat ini hubungan tari Legong dengan agama Hindu sangat
beda sifatnya. Tari Legong tidak lagi merupakan manifestasi dari
leluhur, seperti halnya Sang Hyang, namun dipertunjukan untuk
hiburan para leluhur. Dengan kata lain, tari Legong dipentaskan untuk
menghibur para leluhuryang turun dari kahyangan, termasuk para raja yang hadir
pada upacara odalan yang datangnya setiap 210 hari.
Seperti kesenian istana lainnya,
tari Legong dijadikan suatu tradisi sebagai pameran yang
mencerminkan kekayaan dan kemampuan para raja pada zaman lampau. Para petugas
istana berusaha memperoleh wanita-wanita yang paling cantik dan berbakat
kemudian dilatih untuk dijadikan penari Legong, dan banyak di antaranya
menjadi abdi keraton.
C.
Tempat Pertunjukan
Di dalam
proses perubahan Sang Hyang menjadi Legong melalui Gambuh, terjadilah satu proses sekularisasi walaupun Legong masih bersifat ritual. Legong tidak lagi dipentaskan di jeroan pura, tetapi pada sebuah kalangan, baik di dalam maupun di luar
halaman pura. Kalangan berbentuk segi
empat panjang di atas tanah, dengan ukuran panjang delapan meter dan lebar enam
meter. Kalangan dikelilingi oleh
bambu yang dihiasi dengan janur. Dindingnya dibuat rendah sehingga penonton
dapat melihat sambil duduk di atas tanah. Penonton dapat melihat dari tiga
jurusan. Adapun gamelan diletakkan pada satu sisi yang berlawanan dengan
tampilnya Legong itu. Meskipun kalangan tidak lagi dibuat di jeroan pura, tempat pertunjukannya perlu
dibersihkan dengan suatu upacara oleh seorang pemangku (penghulu agama) yang menghaturkan sesajen dan doa-doa
untuk keselamatan pementasan tari Legong.
Kalangan diatur sesuai dengan arah spiritual
dalam agama Hindu, yaitu Legong
tampil dari arah utara yang menggambarkan lini sakral dari Gunung Agung.
Gamelan pengiringnya yang terletak di belakang penari-penari Legong berfungsi sebagai latar belakang
pertunjukan tersebut.
D. Motif Gerak Pada Tari
Legong
Pada
motif gerak tari (karana) Legong
memang bermuara kepada dasar gerak tari Gambuh,
yang memang telah memiliki tata krama menari yang ketat, termuat dalam lontar Panititaling Pagambuhan, yakni mengenai dasar-dasar tari yakni agem, posisi gerak dasar yang tergantung
dari perannya, ada banyak jenis agem.
Kemudian Abah Tangkis, gerakan peralihan dari agem satu ke agem yang
lainnya, ada tiga jenis Abah tangkis. Dasar selanjutnya adalah Tandang, yakni cara berjalan dan
bergeraknya si penari, dari sini akan dikenal motif gerak seperti ngelikas, nyeleog, nyelendo, nyeregseg, kemudian tandang nayog, tandang niltil, nayung dan agem nyamir.
Untuk melengkapi dikenal pula dasar tari yakni Tangkep, yang memuat seluruh dasar-dasar ekspresi, mulai dari
gerakan mata, ada yang namanya dedeling,
manis carengu, kemudian gerakan leher
ada yang disebut Gulu Wangsul, Ngilen, Ngurat daun, ngeliyet, ngotak bahu
bahkan termasuk gerakan jemari, yaitu nyelering,
girah, nredeh dan termasuk pula aturan menggunakan kipas; nyekel, nyingkel dan ngaliput.
Ciri yang sangat kuat dalam tari Legong
adalah gerakan mata penarinya yang membuat tarian tersebut menjadi hidup dengan
ekspresi yang sangat memukau oleh penarinya.
Struktur tari Legong secara khusus adalah pepeson, bapang, ngengkog, ngaras,
pepeson muanin oleg, dan ngipuk. Sedangkan secara umumnya terdiri
dari papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad.
Keterampilan dalam membawakan tari Legong, kesesuaiannya dengan penguasaan
jalinan wiraga, wirama
dan wirasa
yang baik, sesuai dengan patokan agem, tandang, dan tangkep.
E. Busana Tari Legong
Busana khas
legong yang berwarna cerah (merah, hijau, ungu) dengan lukisan daun-daun dan
hiasan bunga-bunga emas di kepala yang bergoyang mengikuti setiap gerakan dan
getaran bahu penari disederhanakan dengan dominasi warna hitam-putih.
F. Perkembangan Tari Legong
Sejak abad ke-19 tampak ada pergeseran: Legong berpindah
dari istana ke desa. Wanita-wanita yang pernah mengalami latihan di istana
kembali ke desa dan mengajarkan tari Legong kepada generasi berikutnya.
Banyak sakeha (kelompok) Legong terbentuk, khususnya di daerah
Gianyar dang Badung. Guru-guru tari Legong juga banyak bermunculan,
khususnya dari desa Saba, Bedulu, Peliatan, Klandis, dan Sukawati. Murid-murid
didatangkan dari seluruh Bali untuk mempelajari tari Legong, kemudian
mengembangkannya kembali ke desa-desa. Legong menjadi bagian utama
setiap upacara odalan di desa-desa.
Dalam perkembangan selanjutnya, tari Legong bukan
lagi merupakan kesenian istana, melainkan menjadi milik masyarakat umum.
Pengaruh istana makin lama makin melemah sejak jatuhnya Bali ke tangan Belanda
pada 1906-1908 M.
Di desa, kini Legong dipergelarkan jika diperlukan
untuk kepentingan upacara keagamaan. Leluhurnya, Sang Hyang, dipentaskan
berhubungan dengan kepercayaan animisme. Adapun nenek moyangnya yang lain,
yaitu Gambuh mengungkapkan artikulasi idea dari Majapahit. Pada mulanya Legong
juga berhubungan dengan agama Hindu istana yang tinggi nilainya, namun kini
berhubungan dengan agama Hindu Dharma yang lebih bersifat sekuler. Tari Legong
masih ditarikan oleh anak gadis dari desa tertentu pada sebuah kalangan yang
sudah diupacarai sehubungan dengan upacara keagamaan. Kalangan sering-sering
dibuat di luar halaman tempat persembahyangan walaupun masih diorientasikan
dengan dua arah kaja dan kelod sebagai arah yang angker dalam
kepercayaan orang-orang Bali. Yang paling pokok adalah Legong dipersembahkan
sebagai hiburan bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam upacara keagamaan.
G. Macam-Macam Tari Legong
1. Legong Lasem (Kraton)
Tarian yang baku ditarikan oleh dua orang Legong dan seorang condong. Condong
tampil pertama kali, lalu menyusul dua Legong
yang menarikan Legong lasem. Repertoar dengan tiga penari dikenal
sebagai Legong Kraton. Tari ini
mengambil dasar dari cabang cerita Panji (abad ke-12 dan ke-13, masa Kerajaan Kadiri), yaitu tentang keinginan raja (adipati) Lasem (sekarang
masuk Kabupaten Rembang) untuk meminang Rangkesari, putri Kerajaan Daha
(Kadiri), namun ia berbuat tidak terpuji dengan menculiknya. Sang putri menolak
pinangan sang adipati karena ia telah terikat oleh Raden Panji dari Kahuripan. Mengetahui adiknya diculik, raja Kadiri, yang merupakan
abang dari sang putri Rangkesari, menyatakan perang dan berangkat ke Lasem.
Sebelum berperang, adipati Lasem harus menghadapi serangan burung garuda
pembawa maut. Ia berhasil melarikan diri tetapi kemudian tewas dalam
pertempuran melawan raja Daha.
Awal tari Legong
mulai muncul pada pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu Bali dipelintah oleh
beberapa Raja. Puri adalah salah satu tempat untuk menciptakan tabuh dan tari
baru dan mementaskannya pada Zaman itu. Menurut lontar Dewa Agung Karna, putra
raja pertama kerajaan Sukawati pada pertengahan abad ke-17, ia melihata
bayangan bidadari menari. Dari sinilah diciptakan tari Legong. Gaya tari Legong sekarang yang seperti ditarikan oleh 2
atau 3 penari prempuan di pertunjukan dimana-mana setelah abad ke-20. Cerita
tari Legong diambil dari gambuh
(drama tari yang mengambil tema dari Malat, sastra klasik yang menceritakan
tentang perjanjian Panji, pahlawan Jawa).
2. Legong Jobog
Tarian
ini, seperti biasa, dimainkan sepasang legong. Kisah yang diambil adalah dari
cuplikan Ramayana, tentang persaingan dua bersaudara Sugriwa dan Subali (Kuntir dan Jobog) yang memperebutkan ajimat dari ayahnya.
Karena ajimat itu dibuang ke danau ajaib, keduanya bertarung hingga masuk ke
dalam danau. Tanpa disadari, keduanya beralih menjadi kera dan pertempuran
tidak ada hasilnya.
3. Legong Legod Bawa
Tari ini
mengambil kisah persaingan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu tatkala mencari rahasia lingga Dewa
Syiwa.
4. Legong Kuntul
5. Legong Smaradahana
6. Legong Sudarsana
7. Legong Playon
8. Legong Untung Surapati
9. Legong Andir (Nadir)
Mengambil
cerita semacam Calonarang yang merupakan ciri khas tari Legong di desa Tista (Tabanan).
10. Sang Hyang Legong atau Topeng
Legong
Mengambil
cerita semacam Calonarang yang merupakan ciri khas di pura Pajegan Agung
(Ketewel). Tari Legong asal Ketewel
itu biasa disebut tari Legong topeng,
karena penarinya wajib menggunakan topeng yang disangga dengan gigi. Berbeda
dengan tari Legong keraton yang kini
dikenal gemulai, energik, tapi mengentak, gerakan tari legong topeng jauh dari
kesan mengentak.
Gerakan
para penari Legong topeng terkesan
sangat gemulai, kalem, tanpa satupun gerakan cepat. Semua berirama teratur.
“Karena lakonnya bidadari, yang menggambarkan gerakan bidadari di kahyangan,”
terang Mangku Widia. Mangku Widia menambahkan, kemunculan Legong topeng bermula dari seorang Ksatria di Puri Sukawati bernama
I Dewa Agung Anom Karna. Ia mendapat wangsit ketika bersemadi di Pura Payogan
Agung Ketewel. Sang ksatria kabarnya mendapat perintah dari Hyang Pasupati,
untuk menciptakan sebuah tarian dengan karakter topeng yang telah ada.
H. Gamelan Pada Tari
Legong
Gamelan
yang dalam lontar Catur Muni-muni disebut dengan gamelan semara aturu
ini adalah barungan madya, yang bersuara merdu sehingga banyak dipakai untuk
menghibur raja-raja pada zaman dahulu. Karena kemerduan suaranya, gamelan Semar
Pagulingan (semar=semara, pagulingan=peraduan) konon biasa dimainkan pada
malam hari ketika raja-raja akan ke peraduan (tidur). Kini gamelan ini bisa
dimainkan sebagai sajian tabuh instrumental maupun mengiringi
tari-tarian/teater.
Masyarakat Bali mengenal dua macam Semar Pagulingan:
1.
Semar Pagulingan yang berlaras pelog 7 nada
2. Semar Pagulingan yang
berlaras pelog 5 nada
Kedua jenis Semar Pagulingan secara fisik
lebih kecil dari barungan Gong Kebyar terlihat dari ukuran instrumennya.
Gangsa dan trompongnya yang lebih kecil dari pada yang ada dalam
Gong Kebyar.
Instrumentasi gamelan Semar Pagulingan (milik STSI
Denpasar) meliputi:
Jumlah
|
Satuan
|
Instrumen
|
1
|
Buah
|
Trompong
dengan 12 pencon
|
2
|
Buah
|
Gender
rambat berbilah 14
|
2
|
Buah
|
Gangsa
barungan berbilah 14
|
2
|
Tungguh
|
Gangsa
gantungan pemande
|
2
|
Tungguh
|
Gangsa
gantungan kantil
|
2
|
Tungguh
|
Jegogan
|
2
|
Tungguh
|
Jublag,
masing-masing berbilah 7
|
2
|
Buah
|
Kendang
kecil
|
2
|
Buah
|
Kajar
|
2
|
Buah
|
Kleneng
|
1
|
Buah
|
Kempur
(gong kecil)
|
1
|
Pangkon
|
Ricik
|
1
|
Buah
|
Gentorag
|
1
|
Buah
|
Rebab
|
1-2
|
Buah
|
Suling
|
Instrumen yang
memegang peranan penting dalam barungan ini adalah trompong yang merupakan pemangku melodi. trompong mengganti peran suling dalam Panggambuhan, dalam hal memainkan melodi dengan dibantu oleh
rebab, suling, gender rambat dan gangsa barangan. Sebagai pengisi
irama adalah Jublag dan jegogan masing-masing sebagai pemangku
lagu, sementara kendang merupakan instrumen yang memimpin perubahan dinamika
tabuh. Gending-gending Semar Pagulingan banyak mengambil gending-gending
Panggambuhan.
Beberapa desa yang hingga masih aktif memainkan gamelan Semar
Pagulingan adalah:
I. Daerah Keberadaan Tari Legong
Beberapa daerah mempunyai Legong yang khas, misalnya:
2. Di
pura Pajegan Agung (Ketewel) terdapat juga tari Legong yang memakai
topeng dinamakan Sanghyang Legong
atau Topeng Legong.
Daerah yang dianggap sebagai daerah sumber Legong di Bali
adalah:
J. Pergeseran Makna Tari Legong
Tak
banyak daerah yang mampu mempertahankan kekhasan tari legongnya. Selain Legong Peliatan yang tengah diperkenalkan kembali Legongnya, legong Saba
kini juga kembali berusaha menunjukkan eksistensinya. Adalah I Gusti Ngurah
Agung Serama Semadi, putra Anak Agung Raka Saba, yang berusaha memperkenalkan
kembali Legong gaya Saba. Setiap
Sabtu dan Minggu sore, Agung Aji Rai, begitu Semadi kerap disapa, selalu
mengajari puluhan anak-anak Desa Saba tarian khasnya itu. Hal yang sama coba
dilakukan I Wayan Kelo, cucu I Wayan Lotring yang kini berupaya memperkenalkan
kembali Legong gaya Kuta.
Namun,
bagi Agung Aji Rai maupun Wayan Kelo, tak mudah mempertahankan Legong gaya
daerah yang diwariskan. Pasalnya, ruang yang ada untuk mereka berekspresi tak
cukup banyak. Sebaliknya, permintaan pasar dan keterbatasan budget anggaran
menjadi kendala. Contoh sederhananya, kini banyak penyelenggara pertunjukkan
seperti hotel dan kafe mengajukan permintaan tari Legong berdasarkan pasar dan anggaran tadi. Tak mengherankan bila
kini banyak tari Legong yang tampil
hanya 10 menit, dari yang seharusnya sekitar 20 sampai 30 menit. Ironisnya,
menjamurnya sanggar-sanggar tari di Bali membuat perlakuan tidak layak terhadap
kesenian Bali itu tak lagi dihiraukan. Banyak tari Bali kreasi baru yang muncul
menggunakan konsep pelegongan. Banyak pula upaya mencipta Legong kreasi, yang terbukti tak mengusik kekuatan tari Legong asli. Legong kreasi tidak pula mengurangi kecintaan masyarakat pada tari Legong asli.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak
yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon
merupakan pengaruh dari gambuh. Legong dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua. Tari Legong
masih erat hubungannya dengan agama, baik dari segi sejarah maupun
pertunjukannya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan.
Penari
Legong yang baku adalah dua orang
gadis yang belum mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton.
Kedua penari ini, disebut legong, selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa
tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang
tidak dilengkapi dengan kipas.
Terdapat sekitar 18 tari legong yang dikembangkan di
selatan Bali, seperti Gianyar (Saba, Bedulu, Pejeng, Peliatan), Badung (Binoh dan Kuta), Denpasar (Kelandis), dan Tabanan (Tista).
Dalam perkembangan zaman, Legong sempat kehilangan popularitas di
awal abad ke-20 oleh maraknya bentuk tari kebyar dari bagian utara Bali. Usaha-usaha
revitalisasi baru dimulai sejak akhir tahun 1960-an, dengan menggali kembali
dokumen lama untuk rekonstruksi.
B. Saran
Setelah kita mengetahui mengenai Keberadaan Tari Legong, ada
beberapa hal yang harus kita lakukan, diantaranya:
1.
Melestarikan dan menjaga kesenian daerah yaitu tariannya terutama dari Bali.
2. Mensosialisasikan/memperkenalkan
kepada masyarakat yang lebih luas.
3.
Mempelajari tari yang berasal dari Bali khususnya dan menurunkannya kegenerasi
penerus.
4.
Dapat lebih menyatukan para seniman tari tradisi agar tidak mengalami perbedaan
pendapat.
5. Bagi
para pencipta tari (koreografer) untuk tidak menghilangkan hal-hal yang tidak
boleh dihilangkan, hanya sebatas
mengembangkannya saja.
DAFTAR PUSTAKA
I Made Bandem, (1996), Evolusi
Tari Bali, Kanisius, Yogyakarta.
SUMBER LAIN
http://www.babadbali.com/seni/drama/dt-legong.htm
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Pembatas Makalah
PEMBAHASAN
A.
Asal Mula Tari Legong
B.
Tujuan Pertunjukan Tari Legong
C.
Tempat Pertunjukan
D.
Motif Gerak Pada Tari Legong
E.
Busana Tari legong
F.
Perkembangan Tari Legong
G.
Macam-macam Tari Legong
H.
Gamelan Pada Tari Legong
I.
Daerah Keberadaan Tari Legong
J.
Pergeseran Makna Tari Legong
PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR
PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT karena hanya dengan limpahan rahmat, taufik dan
hidayah-Nyalah Penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam
semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, keluarga, sahabat dan pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman.
Penyusunan makalah ini dibuat
Penulis dalam rangka memenuhi Tugas Kesenian Semester 3 yang berjudul “Tari Legong”.
Penulis menyadari banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini. Namun, Penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi Penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
TUGAS
MAKALAH KESENIAN
TARI LEGONG
Diajukan untuk
memenuhi salah satu syarat tugas Kesenian
Disusun Oleh :
Kelompok IV
Nama :
-
Cucu Sopiani
-
Indrawan
-
Gin-gin Ginanjar
-
Fajar Suryanto
- Dewi Puspita
Sari
Kelas
: 2 J
Prodi
: Pendidikan Jasmani Kesehatan dan
Rekreasi
(PJKR)
STKIP
PASUNDAN CIMAHI
Jalan
Permana No.32 Tlp.(022)6628311 Kota Cimahi